Enggan merapatkan shaf shalat

Ramadhan, 9

Salah satu ibadah yang dilakukan umat muslim di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih. Shalat tarawih adalah satu-satunya shalat sunnah yang dapat dilakukan secara berjama’ah. Dua hari yang lalu saya melaksanakan shalat tarawih di salah satu masjid kampus terbesar di Bandung, Masjid Salman. Saya sangat senang melaksanakan shalat di masjid ini baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lain karena arsitekturnya yang sangat nyaman dan bacaan imamnya yang sangat bagus sehingga membuat shalat menjadi lebih khusyu’. Selain itu di Salman selalu ada petugas yang mengurusi barisan atau shaf shalat agar barisannya rapat dan lurus. Sehingga meskipun Salman letaknya agak jauh dari tempat tinggal saya dan ada masjid yang lebih dekat, saya tetap memilih masjid Salman.

Meskipun begitu, dikarenakan luasnya dan banyaknya jama’ah, terkadang tidak semua petugas dapat memeriksa satu-persatu barisan. Seperti dua hari yang lalu, ketika saya mengatakan kepada jama’ah disebelah saya agar merapat dan bersinggungan antara bahu satu sama lain, dia mengelak dan bertanya “memangnya harus bersinggungan?” yang saya jawab “ya”. Karena imam sudah bertakbir maka kami-pun memulai shalat jama’ah, dan barisan kami belum juga rapat seperti yang seharusnya.

Setelah shalat jama’ah selesai, saya mengatakan bahwa nanti sebaiknya lebih dirapatkan lagi, karena tadi masih ada ruang diantara kita. Dia kemudian menjawab dengan keras “kan yang penting ga bolong satu orang, ini kan juga udah rapat. Rapat sih rapat tapi ya ngga nyiksa juga mba” dan membuat saya terdiam.

Itu baru sepenggal cerita dari masjid yang menurut saya paling baik yang pernah saya datangi. Belum lagi masjid-masjid lain yang ada di sekitar kita. Kemarin saya shalat di masjid di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, jelas-jelas shaf nya bolong dan cukup untuk satu orang lagi, namun tidak ada yang mau maju untuk mengisi meskipun telah diminta. Malah saya akhirnya disuruh sama ibu-ibu disana untuk berdiri di tengah-tengah (merenggangkan barisan) agar tidak terlihat bolong.

Subahanallah,

Sesulit itukah kita merapatkan barisan shalat? Padahal sudah jelas diperintahkan oleh Rasulullah saw.

Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti barisannya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian danjanganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”. (Shahih, HR. Abu Dawud no. 666)

Selain itu ada banyak hikmah dibalik perintah merapatkan shaf yang apabila dilakukan maka akan membantu terwujudnya ukhuwah islamiyah, (silahkan baca di sini). Dengan memahami dan mengetahui hikmah dibalik perintah untuk merapatkan shaf maka saya mengharapkan kita semua dapat mulai melaksanakan sunnah tersebut dengan senang hati. Aamiin.

Jama’ah Karbitan

Ramadhan, 8

Siang ini saat adzan Dzuhur berkumandang saya mengingatkan teman-teman di kantor yang laki-laki apakah mereka tidak pergi shalat ke masjid, karena saat bukan bulan Ramadhan pun mereka memang sering pergi shalat ke masjid.

Kemudian salah seorang dari mereka menyeletuk, “Jadi ga enak, menuh-menuhin masjid”.

“Kenapa Pak?” jawab yang lain.

“Iya, kalau bulan Ramadhan aja, shaf-nya penuh, banyak jama’ah karbitan, kayak tadi pagi tuh…kalau biasanya aja, cuman 2 shaf” jawab si bapak.

Yang lain membalas, “Mending 2 shaf”

Saya sebenarnya ingin menanggapi dan mengutarakan apa pendapat saya, tapi rasanya akan terlalu serius, jadi saya tahan dan membaginya disini saja.

Menurut saya, sebaiknya kita tidak memberikan komentar yang men-discourage seperti itu. Pengalaman spiritual orang berbeda-beda dan tidak ada yang bisa memberikan nilai kecuali Allah SWT sendiri. Mengapa kita tidak mendoakan saja agar mereka yang pada bulan Ramadhan ini rajin ke masjid tetap rajin dan tekun beribadah di bulan-bulan lainnya. Toh selama kita hidup kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa jadi hari ini kita berada di jalan yang lurus, tapi besok sudah berbelok. Naudzubillahi min ‘dzalik.

Kejadian seperti itu bukan mengada-ada dan Tuhan juga sudah memberikan jalan kepada kita bagaimana caranya supaya kita tetap berada di jalan yang lurus. Setiap kita shalat, kita pasti membaca Al-Fatihah di setiap raka’atnya. Surat Al Fatihah ini sendiri berisi untaian doa kepada Allah agar kita selalu dibimbing di jalan yang lurus, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan jalan mereka yang sesat.

Saya sendiri termasuk orang yang dapat dikatakan jama’ah karbitan tadi. Selama bulan Ramadhan ini saya berusaha shalat ke Masjid, melakukan shalat Tarawih, tadabbur Al-Qur’an, dll yang jarang saya lakukan di bulan sebelumnya. Namun bukan semata hanya karena bulan Ramadhan. Di awal bulan Ramadhan ini saya sedang berhalangan shalat dan puasa, kemudian saya mendapat kesedihan yang luar biasa yang bisa dibilang sedikit banyak mengguncang iman saya. Oleh karena itu saya juga memanfaatkan momentum bulan Ramadhan ini sebagai momen untuk memberbaiki diri dan keimanan. Mungkin memang iman saya yang masih lemah, tapi saat tiba masanya saya mau melakukan kebaikan namun kemudian mendengar komentar yang mendiscourage seperti itu membuat perasaan saya menjadi buruk dan berpikir apa sebaiknya saya biasa-biasa saja.

Tapi sekali lagi saya berpikir. Saya berniat memperbaiki diri bukan untuk mendapatkan pengakuan dari manusia, melainkan hanya dari Allah SWT semata. Jadi sebaiknya terserah orang mau bilang apa, yang penting kita melakukan segala sesuatu hanya untuk Allah SWT kan?

Semoga kita diberi ketetapan hati dan selalu ditunjukkan jalan yang lurus. Aamiin.

Demi Ramadhan yang Sukses

Bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, waktu dimana pahala disebar berkali-kali lipat dan pintu ampunan dibuka selebar-lebarnya. Semoga kita semua dimudahkan untuk beribadah dengan kualitas yang terbaik, puasa, lantunan Al-Qur’an, shalat malam, dan sedekah. Aamiin.

Selain itu, kita harus tetap waspada dengan hal-hal yang dapat mengurangi kualitas puasa dan amalan ibadah lainnya yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala. Berikut ini adalah beberapa hal yang penting untuk saya ingat dan hindari di bulan Ramadhan ini, yaitu:

  1. Ghibah. Jauhi ghibah yang akan menggugurkan pahala puasa kita. Sebaiknya kita mengurangi aktivitas yang dapat menjurus ke arah ghibah seperti berkumpul dengan kawan-kawan yang memang topik obrolannya biasanya adalah ghibah. Lebih bagus lagi jika kita dapat saling mengingatkan. Jika tidak, meninggalkan kelompok tersebut lebih baik.
  2. Tundukan pandangan. Baik di jalan maupun di dunia maya, sebaiknya kita menghindari pergi ke tempat-tempat dimana mungkin kita akan melihat banyak aurat yang terbuka, mall misalnya. Melihat foto-foto dan video di  Facebook, Instagram, dan Youtube yang juga membuat kita melihat aurat juga sebaiknya dihindari. Apalagi memang sengaja mencari gambar seronok, ingat, kita manusia yang memiliki kekuatan untuk menahan diri.
  3. Waktu untuk internetan menjelajahi hal-hal yang kurang bermanfaat jangan sampai lebih banyak daripada membaca Al Qur’an dan melakukan hal-hal bermanfaat lainnya.
  4. Menonton siaran televisi yang isinya banyak memamerkan aurat wanita dan melalaikan serta kurang bermanfaat. Juga menghabiskan waktu dengan bermain game
  5. Jauhi aktivitas ngabuburit di jalanan dan di tempat-tempat hiburan yang kurang bermanfaat. Jangan sampai terlalu bernafsu dalam membeli makanan untuk berbuka puasa sehingga boros dan mubazir.
  6. Mengurangi ngobrol dengan makhluk sehingga waktu banyak tersita dengan hal-hal yang kurang bermanfaat, seperti ghibah, mengeluh, dan tidak sengaja menyakiti hati teman. Perbanyaklah beristighfar dan membaca Al Qur’an.
  7. Jangan sampai terjerumus riya’ dan ujub karena menulis status di media sosial.
  8. Jangan sampai fokus untuk membeli keperluan lebaran dan lupa dengan esensi bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.

Untuk menggapai Ramadhan yang sukses tidak hanya terbatas pada yang saya tulis di atas ini saja. Semoga Allah memudahkan kita semua untuk mendapatkan keberkahan Ramadhan sehingga kita bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi tidak hanya saat Ramadhan, tapi semua kebiasaan baik dan sifat baik tetap melekat sampai setelah Lebaran sehingga kita bisa mendapatkan derajat taqwa. Aamiin.

Bersumber dari http://www.firanda.com dengan perubahan penulisan.

 

Arti Minal Aidin wal Faizin dan Ucapan yang Disyariatkan saat Idul Fitri

minal aidin wal faizin
Saya kembali teringat pada bulan syawal tahun lalu, masih dalam suasana Idul Fitri, saya mengucapkan “Minal aidin wal faizin ya, maaf lahir batin” kepada salah seorang teman saya. Saya pikir itu biasa, dan memang itulah budayanya. Saya terhenyak ketika teman saya itu bertanya “Minal aidin wal faizin artinya apa sil?”.

Oke, saat itu saya ga tau..hehe

Setelah saya cari tau, menurut Qaris Tajudin dalam bukunya yang berjudul “Bahasa!”, “Minal Aidin wal Faizin” memang berasal dari bahasa Arab –bahasa yang banyak memberikan sumbangan pada istilah keagamaan di Indonesia, baik Islam maupun Kristen– namun uniknya, frasa ini sendiri tidak dikenal dalam budaya Arab dan hanya digunakan oleh orang Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada hadits yang mendasari penggunaan frasa ini.
Bila ditinjau dari segi bahasa, frasa ini memiliki arti “dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang”, dan secara istilah mungkin maksudnya adalah ”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang.”
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, kalimat ini mengandung dua kata pokok: ‘aidin dan faizin (Ini penulisan yang benar menurut ejaan bahasa indonesia, bukan aidzin,aidhin atau faidzin,faidhin. Kalau dalam tulisan bahasa arab:
من العاءدين و الفاءيزين

Yang pertama sebenarnya sama akar katanya dengan ‘Id pada Idul Fitri. ‘Id itu artinya kembali, maksudnya sesuatu yang kembali atau berulang, dalam hal ini perayaan yang datang setiap tahun. Sementara Al Fitr, artinya berbuka, maksudnya tidak lagi berpuasa selama sebulan penuh. Jadi, Idul Fitri berarti “hari raya berbuka” dan ‘aidin menunjukkan para pelakunya, yaitu orang-orang yang kembali. (Ada juga yang menghubungkan al Fitr dengan Fitrah atau kesucian, asal kejadian)

Faizin berasal dari kata fawz yang berarti kemenangan. Maka, faizin adalah orang-orang yang menang. Menang di sini berarti memperoleh keberuntungan berupa ridha, ampunan dan nikmat surga. Sementara kata min dalam minal menunjukkan bagian dari sesuatu.
Sebenarnya ada potongan kalimat yang semestinya ditambahkan di depan kalimat ini, yaitu ja’alanallaahu (semoga Allah menjadikan kita). Jadi selengkapnya kalimat minal ‘aidin wal faizin bermakna (semoga Allah menjadikan kita) bagian dari orang-orang yang kembali (kepada ketaqwaan/kesucian) dan orang-orang yang menang (dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah). Jelaslah, meskipun diikuti dengan kalimat mohon maaf lahir batin, ia tidak mempunyai makna yang serupa.

Ucapan Yang Disyari’atkan Pada Hari Raya Idul Fitri
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya dan beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa 24/253] :
“Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :
وَمِنْكم مِنَّا اللهُ تَقَبَّلَ

Taqabbalallahu minnaa wa minkum

“Artinya : Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian”
Dan (Ahaalallahu ‘alaika), dan sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya.

Akan tetapi Imam Ahmad berkata :
“Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.”
[Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam ‘Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]
Berkata Al Haafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [2/446] :
“Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
“Artinya : Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya :Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari (amalan) kami dan darimu)”.
Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka”
Imam Ahmad menyatakan : “Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)”
[Disalin dari buku Ahkaamu Al Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura’, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein
Para sahabat juga biasa menambahkan:

shiyamana wa shiyamakum

,semoga juga puasaku dan kalian diterima.

Semoga apa yang tertulis di atas bisa meluruskan pemahaman kita tentang arti kalimat minal ‘aidin wal faizin yang sebenarnya.
Sumber:
http://abuzuhriy.com/menelaah-ucapan-minal-aidin-wal-faidzin/
http://ridwanaz.com/islami/arti-minal-%E2%80%98aidin-wal-faizin-bukan-mohon-maaf-lahir-batin/
1. ^ Quraish Shihab, Lentera Hati [2]
2. ^ Majmu’ Fatawa, 24/253, lihat juga Al Mughni, 3/294.

Penggunaan Subhanallah dan Masya Allah

Entah bagaimana dan kapan asal mulanya, penggunaan kata Subhanallah dan Masya Allah di Indonesia sering terbalik. Jika melihat sesuatu yang bagus, biasanya orang akan berkata “Subhanallah, indah sekali ya pemandangannya” atau “Subhanallah, bagus sekali suaranya”, namun apabila melihat sesuatu yang buruk, biasanya orang akan berkata “Masya Allah, bandel banget sih” atau “Masya Allah, panas sekali disini”. Nah, mari kita telusuri makna dari kata-kata tersebut.

Subhanallah

Penggunaan kata Subhanallah dapat ditemukan dalam beberapa ayat di Al Qur’an,

dalam Q.S ath-Thuur ayat 43 Allah berfirman:

() أَمْ لَهُمْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah? Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(QS. 52:43)

Dalam Q.S Ash Shaaffat ayat 159,

()سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ

Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan,(QS. 37:159)

Dalam Q.S Yusuf ayat 108,

()قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: `Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik`.(QS. 12:108)

Jadi, Subhanallah digunakan dalam mensucikan Allah dari hal yang tak pantas. “Maha Suci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan, dll. Dalam buku Muktar al-Sihah, Subhanallah berarti kesaksian seseorang yang menghapus setiap elemen antropomorfis (personifikasi) yang berasosiasi dengan Allah atau dengan kata lain berlepas diri dari hal-hal yang menjijikkan semperti syirik.

Walaupun ada pemakaian Subhanallah untuk hal yang menakjubkan seperti dalam Q.S al Israa ayat 1,

()سُبْحَانَ الَّذِى أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الاْقْصَى الَّذِى بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءايَـتِنَآ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُالبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Menurut tafsir ibn Katsir, penggunaan Subhanallah dalam ayat ini untuk menegaskan bahwa ini adalah perkara yang serius.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Jabir r.a:

“Kami apabila berjalan naik membaca takbir, dan apabila berjalan turun membaca tasbih.”

Jadi “Subhanallah” dilekatkan dalam makna “turun”, yang kemudian sesuai dengan kebiasaan orang dalam Bahasa Arab secara umum; yakni menggunakannya untuk mengungkapkan keprihatinan atas suatu hal kurang baik di mana tak pantas Allah Subhanahu wa ta’ala dilekatkan padanya.

Kesimpulannya, Subhanallah merupakan salah satu bentuk dzikir yang dapat digunakan kapan saja (bahkan sangat berat timbangan amalnya). Namun pada pengucapan sebagai respons terhadap kejadian sehari-hari, Subhanallah digunakan untuk menegaskan kembali ke Maha Suci-an Allah atas segala sesuatu yang tidak pantas bagi keagungan dan kebesaran-Nya.

Masya Allah

Dalam surat al Kahfi ayat 39 Allah berfirman yang artinya: “Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “MAASYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,”

Dalam ayat itu, Masya Allah diucapkan atas kekaguman pada aneka kebaikan melimpah; kebun, anak, harta. Sungguh ini semua terjadi atas kehendak Allah; kebun subur menghijau jelang panen; anak-anak yang ceria menggemaskan, harta yang banyak.

Dalam kultur Arab, Masya Allah digunakan untuk mengekspresikan kebahagiaan, apresiasi, pujian, dan rasa terimakasih kepada lawan bicaranya. Makna dari kata ini selain menghormati dan menghargai lawan bicara, juga sebagai pengingat bahwa pencapaian atau rezeki yang dia dapat adalah atas kehendak Allah. Masya Allah biasanya digunakan saat mendengar kabar baik.

Bagi yang mengucapkan, kata Masya Allah juga berfungsi untuk menjaga hati dari rasa iri dan dengki.

Contoh penggunaan Masya Allah yang benar:

A: “Saya sudah lulus ujian”

B: “Selamat ya, Masya Allah”

Nah, sudah tahu kan sekarang penggunaan kata-kata yang mulia ini dengan benar. Jadi jangan sampai terbalik lagi ya 🙂